Selasa, 06 September 2011

Seputar Mengenai" Site Lapangan Gasibu "



Setiap minggu pagi dapat dipastikan lalu lintas menuju sekitar Lap Gasibu dan Gedung Sate sangat tersendat atau bahkan macet dikarenakan banyak para pedagang yang berdagang disebabkan banyak kumpulan orang di Lap. Gasibu, banyaknya perebutan pemanfaatan jalan oleh pengguna kendaraan, pejalan kaki, dengan para pedagang.
Dengan skalanya seperti itu, ditambah dengan kemudahan aksesibilitas dari setiap arah, apalagi setelah adanya Jembatan Paspati, maka Lap Gasibu semakin menjadi daerah yang strategis untuk mengumpulkan massa, terutama kegiatan berskala propinsi (Jawa Barat).



Gedung Sate
Gedung Sate, dengan ciri khasnya berupa ornamen tusuk sate pada menara sentralnya, telah lama menjadi penanda atau markah tanah Kota Bandung yang tidak saja dikenal masyarakat di Jawa Barat, namun juga seluruh Indonesia bahkan model bangunan itu dijadikan objek wisata Indonesia pertanda bagi beberapa bangunan dan tanda-tanda objek wisata di Jawa Barat. Misalnya bentuk gedung bagian depan Stasiun Kereta Api Tasikmalaya. Mulai dibangun tahun 1920, gedung berwarna putih ini masih berdiri kokoh namun anggun dan kini berfungsi sebagai gedung pusat pemerintahan Jawa Barat dan juga bisa dijadikan referensi tempat wisata Indonesia.






Arsitektur Gedung Sate merupakan hasil karya arsitek Ir. J.Gerber dan kelompoknya yang tidak terlepas dari masukan maestro arsitek Belanda Dr.Hendrik Petrus, yang bernuansakan wajah arsitektur tradisional Nusantara berciri wisata Indonesia.
Banyak kalangan arsitek dan ahli bangunan menyatakan Gedung Sate adalah salah satu tempat wisata Bandung yang memiliki bangunan monumental yang anggun mempesona dengan gaya arsitektur unik mengarah kepada bentukgaya arsitektur Indo-Eropa, (Indo Europeeschen architectuur stijl), sehingga tidak mustahil bila keanggunan tempat wisata Candi Borobudur ikut mewarnai Gedung Sate.


Monumen Perjuangan Rakyat Jawa Barat



Bandung mempunyai Monumen Perjuangan Rakyat Jawa Barat. Monumen ini terletak di sisi Utara Gedung Sate, membentuk sebuah sumbu garis lurus dengan komplek kantor walikota dan DPRD tersebut. Kalau pandangan diteruskan lagi ke Utara, bertemulah kita dengan Gunung Tangkuban Perahu (semoga masih terlihat). Pemerintah Belanda tempo dulu sengaja memanfaatkan potensi alam ini sebagai penguat sumbu Utara-Selatan komplek pemerintahannya yang belum selesai dibangun ketika Belanda angkat kaki dari Nusantara. Gedung Sate dahulu kala hanya direncanakan sebagai salah satu kantor dinas pemerintahan.
            Sumbu Gedung Sate dengan monumen ini dipertegas oleh hadirnya plaza dan Lapangan Gazebo di antara keduanya.  Plaza ini membujur Utara-Selatan dengan jalan beraspal di kiri dan kanannya. Antara plaza dan Lapangan Gazebo terdapat Jalan Surapati, sementara Lapangan Gazebo dan Gedung Sate diselingi oleh Jalan Diponegoro. Kedua jalan tersebut adalah jalan yang penting bagi kota Bandung, menghubungkan bagian Barat dan Timur kota.
            Membentuk ruang adalah menampung aktivitas. Plaza Monumen Perjuangan Jawa Barat ini menjadi saksi bisu berbagai peristiwa. Sebutlah berbagai aksi massa dengan berbagai isu tuntutan. Plaza ini kerap dijadikan titik kumpul massa aksi sebelum atau sesudah merekalong march dari atau menuju Gedung Sate dan RRI Bandung di Jalan Diponegoro. Aktivitas yang bersifat hiburan dan komersial pun banyak diadakan di tempat ini. Pentas dangdut yang disiarkan langsung oleh sebuah stasiun televisi swasta telah sukses digelar. Balap motor, konser musik dan pasar malam bergantian mengisi ruang dan waktu. Perupa Tisna Sanjaya pun pernah mengadakan pameran karyanya yang sarat dengan kritik sosial di plaza ini.
            Tentu saja acara berskala besar itu tidak digelar setiap hari. Namun demikian, area ini tak pernah berhenti bernafas. Ruang publik ini selalu hidup baik oleh orang-orang yang sekedar melintas ataupun beraktivitas cukup lama di dalamnya. Fenomena ruang publik yang selalu berdenyut jantungnya seperti ini jarang ditemui. Sebabnya adalah ruang terbuka kota umumnya terletak di sebuah kawasan dengan fungsi homogen. Sebutlah Plaza Gedung Danamon di Kawasan SudirmanJakarta yang mati pada malam hari seiring matinya kawasan di luar jam kerja.
            Kawasan di sekitar monumen ini menampung fungsi yang heterogen. Di sebelah Barat Plaza adalah permukiman dan kantor PT Telkom. Sisi Timur adalah komplek Universitas Padjajaran dan permukiman sekitar Jalan Bagus Rangin. Dalam kawasan permukiman tersebut terdapat pasar, taman kanak-kanak, sekolah dasar dan kantin makanan.        
Berjalan-jalan di plaza ini pada pagi hari kita akan menemui senam jantung sehat pegawai PT Telkom, para manula dan penduduk sekitar berolah raga. Menjelang siang, sekelompok anak SD berolah raga bersama gurunya, anak TK latihan melakukan ibadah haji atau sekedar bermain kelereng. Sore hari umumnya dipakai oleh mahasiswa yang kos di sekitar plaza untuk bermain bola. Di sepanjang waktu itu nampak kaum ibu menyuapi anaknya dan mahasiswa yang melintas. Pasar kaget diserbu orang yang berolahraga dan hiburan anak berupa wisata kuda atau kereta dorong adalah pemandangan di hari Minggu pagi. Tak jauh berbeda dengan suasana Minggu pagi di komplek Senayan.
            Dari sudut pandang desain, ruang ini memang banyak kekurangannya. Gersang dan panas adalah kesan pertama yang didapat terutama tepat di sisi Selatan monumen. Memang syarat ruang terbuka ini harus dapat menampung aktivitas besar dan fleksibel. Tenda atau panggung dalam ukuran besar kerap didirikan sehingga kehadiran pohon dinilai mengganggu. Walaupun begitu, iklim tropis kita menuntut hadirnya pohon. Lain halnya dengan plaza-plaza Eropa yang mensyaratkan sebanyak mungkin menerima sinar matahari yang langka. Sebagai solusinya, jalur pedestrian dapat dibuat di bagian pinggir plaza dengan pohon peneduh. Pemilihan palem botol pada plaza dapat dimaklumi untuk memperkuat kesan monumental kawasan pemerintahan. Namun demikian, tidak ada ruginya menanam pohon rindang di beberapa bagian.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar